PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
Namanya
Julia. Orang sering memanggilnya Lia. Anak 15 tahun yang harus merasakan
kerasnya hidup tanpa mengenyam pendidikan disekolah dasar sekalipun. Meskipun
demikian, dalam kamus hidupnya dia tidak mengenal kata ‘putus asa’ ataupun
segala sinonimnya. Sungguh anak yang mengagumkan. Dia bahkan tidak tahu siapa
ayah ataupun ibunya. 10 tahun yang lalu, saat dirinya masih tinggal di Panti
Asuhan, yang dia tahu ibunya adalah ibu panti yang mengasuh kami. Namun, tepat
ulang tahun ibu pantinya ke 45, panti asuhan itu terbakar bersama isinya. Hanya
Lia dan aku yang dapat selamat dari panasnya kobaran api saat itu. “Mati bukan
berarti berakhir,” ucapnya mengutip kata – kata yang sering ibu panti katakan
kepada kami.
Mungkin
kalian berpikir aku juga sama malangnya dengan Lia. Tidak. Setelah kebakaran
hebat itu terjadi, aku langsung diadopsi secara gelap oleh seorang metropolitan
kota ini. Awalnya aku ragu untuk menerima tawaran emas tersebut. Namun,
akhirnya akupun luluh dengan tawaran tersebut, aku terima. Coba kalian pikirkan,
kucing mana yang kuasa menolak ikan segar yang ditawarkannya secara Cuma – Cuma
dihadapannya? Munafik memang aku. Ya,
aku memang munafik. Dulu aku pernah berkata sahabat pada Lia, namun sekarang
aku tinggal dia sendirian dalam kerasnya kota ini.
Jika
boleh memilih, aku ingin sekali mengajak Lia untuk tinggal bersamaku di rumah
Mama Galuh, ibu angkatku. Beliau juga sebatang kara sama sepertiku. Bedanya,
beliau adalah jutawan dikota ini, dan aku adalah orang yang diakunya sebagai
anak kandung. Yeah, aku hanya disini hanya untuk menutupi aibnya dengan
berperan sebagai anaknya. Image, hal
yang sangat dan harus ditegakkan oleh Mama Galuh. Meskipun aku hanya
dimanfaatkannya saja, beliau berjanji tidak akan mencampakkanku suatu saat.
Semoga saja dia menepatinya.
Hidupku
kini terasa hambar. Aku bahkan tidak diperbolehkan untuk menemui Lia lagi
setelah perpisahan kami 10 tahun silam. Kendati demikian, terkadang aku mencuri
– curi kesempatan untuk menemui Lia secara diam – diam meskipun Lia juga tidak
mengetahuinya.
Honda
Jazz yang aku tumpangi berhenti diperempatan jalan. Lampu merah. Samar, aku
mendengar suara yang dulu sangat dekat
dengan telingaku. Aku menengok keluar kaca mobil. Ternyata Lia. Dia sedang
menjajakan Koran loakannya dijalan ini. Ingin diriku menyapanya. Namun saat itu
juga lampu merah padam digantikan lampu hijau. Aku urungkan niatku dan segera
melaju pergi dari jalan ini.
CIIITTT
DRAAAK! Baru 10 meter aku melaju pergi, bunyi keras itu terdengar. Dari kaca
mobil yang kukendarai, aku dapat melihat akibat dari suara keras tersebut.
Kecelakaan rupanya. Penasaran, aku langsung turun dari mobil dan menuju tempat
terjadinya kecelakaan tersebut. Samar, aku melihat korban dari kecelakaan
tersebut. Wajahnya sangat familiar bagiku, LIA! Lia terserempet oleh sepeda
motor yang sedang melaju pula dijalan ini.Bukannya segera menolong, orang – orang disekitarku malah ribut sendiri!
“Permisi
Pak, Bu. Ini teman saya. Lebih baik sekarang dia digotong kedalam mobil saya,
biar saya yang mengantarkannya ke klinik terdekat agar tidak tambah parah
lukanya,” aku menengahi keributan orang – orang disekitarku.
Tiba
– tiba seorang bapak paruh baya mendekatiku dan berkata, “Apa buktinya kalau
kamu temannya? Bisa saja kamu orang jahat yang mengaku – ngaku jadi temannya.”
Orang
– orang disekitarku ribut lagi! Mereka membenarkan omongan bapak tersebut.
Bapak tadi tersenyum, padahal dirinya sendiri tidak mengenal Lia. “Pak,”
panggilku pada bapak tadi. “Bapak tidak lihat baju saya? Buat apa saya menculik
– culik anak ini. Memangnya mau dijual apa? Dan satu lagi, saya memang mengenal
anak ini. Dia Lia, Julia lebih tepatnya. Dia teman saya. Dia tinggal dibelakang
Perumahan Cendana Asri.”
Bapak
itu mendekati Lia meminta responnya. Lia
hanya mengangguk lemah. “Sudah cepat bawa Lia ke mobil saya!” perintahku kasar
pada orang – orang sekitarku dan herannya mereka tidak protes diperintah kasar
olehku. Mereka malah langsung menjalankan perintahku tadi.
Setelah
Lia masuk ke mobilku, aku langsung melaju cepat ke klinik terdekat. Sesampainya
disana, Lia langsung ditangani oleh petugas kesehatan disana. Setelah
menyelesaikan semua biaya administrasi serta tetek bengek sejenisnya, aku
langsung menemui Lia disalah satu kamar di klinik tersebut. Dikamar nomor 05,
lutut Lia sedang dijahit. Sebelunya, disikunya juga mendapatkan 3 jahitan
akibat dari kecelakaan tersebut. Tak lama lututnya pun sudah selesai dijahit.
“Hai
Lia. Lama gak ketemu,” ucapku basa basi.
Lia
yang sedang asik merintih kesakitan sedikit terkejut. Mata mungilnya menatapku
seakan mengingat siapa aku dan dimana kita pernah bertemu. “Aku Aya. Lupa kau
dengan teman satu pantimu dulu?” jelasku menjawab kebingungan Lia.
“Ya
ampun Kak Aya!” seru Lia. “Nyaris aku tidak mengenali Kakak. Sekarang Kakak
tambah cantik saja.”
Pipiku
memerah. Bukan karena pujian dari Lia, melainkan sikapnya mengingat apa yang
telah aku lakukan dulu. “Kamu ternyata masih seperti yang dulu, Lia,” tuturku
lembut. Banyak orang yang menganggap aku kasar dan tidak bisa berkata lembut.
Yah, setelah berpisah dengan Lia aku menjadi anak yang sangat kasar, kecuali
jika bersama Mama Galuh tentunya.
“Kakak
juga,” kata Lia. “Malah tambah keren.” Wajah Lia tertuju pada seragam yang aku
pakai. Tidak bisa dipungkiri, dari raut mukanya menunjukkan bahwa dia iri.
Tersirat rasa kasihan dihatiku. Sejak dulu, ingin rasanya aku mengajak Lia
jalan – jalan, merasakan kenikmatan yang pernah aku rasakan sejak tinggal
bersama Mama Galuh.
“Lia,
maaf dulu aku meninggalkan kamu,” tuturku. Jujur, sampai saat ini aku masih
menyesal.
“Gak
apa – apa kok, Kak,” Lia tersenyum manis. “Lia mengerti. Selagi itu baik buat
Kakak, Lia ikhlas. Lia sudah maafin Kakak sejak dulu, sejak kita berpisah.”
Pipiku
memerah lagi. Malu. Aku rasa sekaranglah saatnya membalas budi Lia. Selagi ada
kesempatan. Toh, Mama Galuh tidak akan tahu soal ini, dia sekarang sedang di
Bandung. “Kamu masih bisa berjalan, kan?” aku mengalihkan pembicaraan kami. Lia
sedikit terkejut lalu mengangguk menanggapinya. “Bagus,” ujarku lagi. “Yuk pergi.”
Lia
mengerutkan dahinya. “Mau kemana kak?”
“Kemana
saja tempat yang ingin kamu kunjungi,” jawabku cuek. “Ayo!” aku menarik tangan
Lia.
Toko
buku. Tempat yang ingin Lia kunjungi. Heran, kenapa Lia lebih memilih toko buku
ketimbang Mall, restoran, atau apalah yang pasti jauh lebih seru dan
menyenangkan ketimbang toko buku tentunya. Tapi karena aku sudah janji, mau tak
mau aku harus mengantarkannya ke toko buku.
Di
toko buku. Huuufft! Ternyata jauh lebih membosankan dari apa yang aku
bayangkan. Bagaimana tidak coba?? Lia jauh lebih memilih deretan buku yang
berisi tentang hal – hal serius seperti: ensiklopedia, buku tentang dasar
hukum, dll ketimbang memilih deretan komik! Yang membuatku tambah bosan: Lia
memilih buku lamaaaa sekali!
2
jam lebih setelah aku menyelesaikan 3 komik sekaligus, Lia baru selesai memilih
buku. Disondorkannya buku yang dipilihnya padaku. Sekilas aku membaca judul
buku yang terpampang: Sumber Dasar Hukum di Indonesia Dalam Kehidupan
Masyarakat.
“Lia,
kamu suka banget sama hukum ya?” Jujur, pada saat itu alisku naik 1 cm, heran.
Ya ampuuun aku bisa – bisa langsung tidur ditempat jika membaca buku super
serius itu!
Lia
hanya meringis dan berkata, “Engak juga sih, kak. Cuma Lia sebagai warga Negara
setidaknya tahu sedikit – sedikit tentang Negara tercinta kita ini, ya kan?”
“Iya
sih, Cuma kamu seperti serius banget mempelajari hukum,” aku tersenyum masam.
“Hihihihi
kakak lupa ya?” Lia meringis membuat sebuah tanda tanya besar dikepalaku,
bingung dengan apa yang dipikirkannya. “Aku, kan tidak sekolah. SD saja tidak
pernah.”
Oh
itu. Ya, aku hampir lupa soal itu. “Lalu kamu belajar membaca menulis dari
siapa?”
“Kakak
Zahmi yang mengajari. Dia mengajari kami membaca dan menulis, baik Indonesia
maupun Inggris,” jelas Lia.
Kami?
Maksudnya apa itu? “Kami?” tanyaku memancing penjelasan dari Lia.
“Iya
kami,” Lia mengangguk antusias. “Kami anak – anak jalanan.”
“Oh,”
tanggapku. “Ya sudah, sekarang kita mau kemana lagi?”
“Aku
mau pulang,” tutur Lia. “Aku harus mengajari teman – temanku.”
“Mengajari?”
tanyaku tidak mengerti.
“Iya,
mengajari teman – temanku membaca dan menulis.”
Oh.
Aku kira mengajari apa. “Jadi sekarang ceritanya kamu sedang melanjutkan
perjuangannya Kak Zahmi?” aku tersenyum remeh pada Lia. Yaelah, mengajari anak
– anak jalanan! Membaca dan menulis pula! Hahaha seperti anak kelas 1 SD!
“Setidaknya,
selama 14 tahun aku hidup, aku sempat memiliki arti dan berarti,” kepala Lia menunduk,
entah merendah atau minder.
“Oooh,”
komentarku dengan nada meremeh. “Ya sudah, selamat berjuang.” Aku memang paling
malas kalau berbicara soal belajar ataupun kawan – kawannya.
“Kakak
gak mau ikutan mengajari mereka, Kak?” pertanyaan Lia terlontar tanpa disaring
terlebih dahulu. “Kakak kan., pernah
sekolah dasar. Setidaknya Kakak jauh lebih tahu daripada aku.”
HAH?!
Apa?! Mengajari mereka?? Iih, gak banget deh! “Gak, males,” jawabku cuek.
“Setidaknya
ilmu Kakak jadi bermanfaat,” kata Lia. “Daripada kebuang sia – sia? Setidaknya,
semuanya jadi ada artinya, Kak.”
“Memangnya
kamu pikir dengan mengajari mereka, mereka bisa jadi pengawai kantoran??”
ujarku meremeh. “Paling banter juga TKI!”
“Tidak
juga, Kak,” bela Lia. “Siapa tahu kelak, salah satu diantara kami ada yang
menjadi penulis. Atau mungkin musisi.”
“Hahahahaha!”
meledaklah tawaku. Bagaimana tidak? Sekarang, Sarjana saja cari kerjaan
susahnya minta ampun. Apalagi mereka yang hanya mempunyai tiltle: anak jalanan!
“Lia,
Lia,” aku menggeleng – gelengkan kepala. “Sekali anak jalanan, kalian tetap
anak jalanan! Sekali gembel, kalian tetap gembel juga!”
“Dunia
itu memang tidak adil, Kak,” Lia berujar lirih. “Ada anak yang sangat ingin
merasakan sekolah, namun tidak bisa. Namun, ada juga anak yang beruntung dapat
bersekolah, namun mereka menyia – nyiakan dan beranggapan sekolah seperti
neraka, mereka tidak serius dan tidak berminat.”
Meskipun
aku tidak mengerti sepenuhnya apa yang diucapkan Lia, namun aku tetap merasa
tersinggung. “Jadi kamu pikir kalian anak – anak jalanan jauh lebih baik
daripada kami apa, hah??! Asal kamu tahu, ya, kalian itu Cuma sampah dunia!!
Kalau kalian mati, dunia tidak akan sedih atau kehilangan, malahan gembira!”
Lia
tersenyum misterius. Ih, aku benci senyumnya itu! Memangnya dia pikir dia
siapa? Cuma anak jalanan, kok, sok – sok-an mengurui! Emang dia pikir dia
pintar apa??
“Jika
kami memang sampah dunia,” Lia menatapku lekat – lekat. “Setidaknya kami adalah
sampah organik. Kami bisa berarti tanpa harus seperti kalian. Dan, kalian juga
sampah! Sampah anorganik! Kalian tidak berarti, karna kalian tidak mencari ilmu
tapi nilai dan gengsi. Kalian tidak jauh bedanya dengan manusia zaman batu dan
manusia barbar. Tuhan seperti tidak adil, tapi kami tidak menyesalinya karna
kami masih diberi hati dan pikiran yang jauh lebih baik daripada kalian. Dan
Tuhan sangat adil!”
Wajahku
merah menahan amarah. Tanganku mengepal – ngepal ingin segera menampar Lia.
Namun, aku hanya pergi meninggalkan Lia disini. Bodo amat, deh dia pulang pakai
apa!
***
Berhari
– hari aku memikirkan apa yang diucapkan Lia tempo hari yang lalu. Aku akui,
ada benarnya juga perkataan Lia. Ya, hidupku selalu saja tidak merasa puas. Aku
memang tidak berarti. Akulah sampah dunia yang sebenarnya.
2
tahun yang lalu. Aku lulus dari salah satu SMP favorit di kota ini dengan nilai
bagus. Namun, aku tetap saja merasa tidak puas. Aku merasa hambar. Pujian,
sanjungan yang aku terima hanya aku pandang sebelah mata. Ya, aku akui, aku
lulus bukan dengan kerja kerasku sepenuhnya melainkan hasil dari menyontek
maupun mendapat bocoran dari seseorang. Rokok. Hanya itu yang dapat
menghilangkan semua beban pikiranku, sesaat. Moral pun kini lenyap. Kenapa
Tuhan masih mengizinkan aku yang jijik ini untuk hidup? Tidakkah aku sama
halnya dengan keledai yang bodoh dan tidak tahu diri?
Mobil
Honda jazz-ku berhenti dipinggir jalan. Aku membuka bagasi mobilku dan
mengeluarkan sekardus besar buku – buku yang hendak aku sumbangkan pada Lia dan
kawan – kawan. Kejadian tempo hari bersama Lia telah membuat mata-ku terbuka.
Kaki-ku melangkah hati – hati melewati jalan yang licin serta menurun. Tidak
jauh dari tempat aku berjalan, suara – suara anak – anak yang sedang semangat
belajar terdengar. Aku sampai dapat merasakan besarnya semangat belajar yang
sebenarnya.
“Kak,”
seorang anak mengacungkan jarinya untuk bertanya pada Lia. “Apa sebenarnya
makna bulu dari burung Garuda? Memangnya penting, ya?”
Lia
tersenyum. “Tentu penting. Sebab, pada bulu sayapnya menandakan tanggal berapa
kita merdeka. Sedangkan bulu pada ekornya menandakan bulan berapa kita
merdeka.”
“Memangnya
penting, kak?” tanya salah seorang lagi.
“Tentu!”
jawab Lia pasti. “Coba kalian bayangkan, jika tidak ada tanggal, bulan, serta
tahun itu, apa kita sekarang sudah merdeka?”
Anak
– anak lalu ribut mendiskusikan perkataan Lia. Sungguh hal yang mengharukan
bagi siapa saja yang melihatnya. Sayang, semuanya kini sibuk dengan urusannya sendiri. Seakan mereka melupakan amanat luhur yang
dituliskan dalam UUD 1945 yang berisi:
‘Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara’. Salah tugas utama
Negara yaitu memelihara fakir miskin dan anak telantar, telah terabaikan. Untung
saja, anak – anak telantar dan fakir miskin itu tidak banyak menuntut meskipun
mereka sebenarnya sangat menderita dan belum merdeka. Beruntung, masih ada
orang yang peduli sesama seperti Lia dan Kak Zahmi. Ya, mereka adalah pahlawan.
Pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.
Takut
mengganggu mereka, aku meninggalkan kardus ini serta amplop berisi sejumlah
uang dipinggir ‘ruang kelas darurat’ mereka. Tak lupa diatasnya aku tuliskan: Untuk pahlawan tanpa tanda jasa yang
sesungguhnya, Lia, mutiara hitamku. Serta semua anak – anak permata bangsa.
Kalian adalah Pusaka Terbesar bangsa yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar