Jumat, 25 April 2014

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Cerita ini saya buat ketika masih duduk dibangku SMP. Entah darimana inspirasi cerita ini, saya hanya ingin menulis dan berkata pada dunia tentang apa saya rasa. Cerita ini berkisah cukup klasik yaitu kisah tentang gadis berusia 15 tahun yang mencoba untuk bermanfaat meski dirinya juga dalam keadaan kekurangan. Semoga Bermanfaat :)



PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
Namanya Julia. Orang sering memanggilnya Lia. Anak 15 tahun yang harus merasakan kerasnya hidup tanpa mengenyam pendidikan disekolah dasar sekalipun. Meskipun demikian, dalam kamus hidupnya dia tidak mengenal kata ‘putus asa’ ataupun segala sinonimnya. Sungguh anak yang mengagumkan. Dia bahkan tidak tahu siapa ayah ataupun ibunya. 10 tahun yang lalu, saat dirinya masih tinggal di Panti Asuhan, yang dia tahu ibunya adalah ibu panti yang mengasuh kami. Namun, tepat ulang tahun ibu pantinya ke 45, panti asuhan itu terbakar bersama isinya. Hanya Lia dan aku yang dapat selamat dari panasnya kobaran api saat itu. “Mati bukan berarti berakhir,” ucapnya mengutip kata – kata yang sering ibu panti katakan kepada kami.
Mungkin kalian berpikir aku juga sama malangnya dengan Lia. Tidak. Setelah kebakaran hebat itu terjadi, aku langsung diadopsi secara gelap oleh seorang metropolitan kota ini. Awalnya aku ragu untuk menerima tawaran emas tersebut. Namun, akhirnya akupun luluh dengan tawaran tersebut, aku terima. Coba kalian pikirkan, kucing mana yang kuasa menolak ikan segar yang ditawarkannya secara Cuma – Cuma dihadapannya? Munafik memang  aku. Ya, aku memang munafik. Dulu aku pernah berkata sahabat pada Lia, namun sekarang aku tinggal dia sendirian dalam kerasnya kota ini.
Jika boleh memilih, aku ingin sekali mengajak Lia untuk tinggal bersamaku di rumah Mama Galuh, ibu angkatku. Beliau juga sebatang kara sama sepertiku. Bedanya, beliau adalah jutawan dikota ini, dan aku adalah orang yang diakunya sebagai anak kandung. Yeah, aku hanya disini hanya untuk menutupi aibnya dengan berperan sebagai anaknya. Image, hal yang sangat dan harus ditegakkan oleh Mama Galuh. Meskipun aku hanya dimanfaatkannya saja, beliau berjanji tidak akan mencampakkanku suatu saat. Semoga saja dia menepatinya.
Hidupku kini terasa hambar. Aku bahkan tidak diperbolehkan untuk menemui Lia lagi setelah perpisahan kami 10 tahun silam. Kendati demikian, terkadang aku mencuri – curi kesempatan untuk menemui Lia secara diam – diam meskipun Lia juga tidak mengetahuinya.
Honda Jazz yang aku tumpangi berhenti diperempatan jalan. Lampu merah. Samar, aku mendengar suara  yang dulu sangat dekat dengan telingaku. Aku menengok keluar kaca mobil. Ternyata Lia. Dia sedang menjajakan Koran loakannya dijalan ini. Ingin diriku menyapanya. Namun saat itu juga lampu merah padam digantikan lampu hijau. Aku urungkan niatku dan segera melaju pergi dari jalan ini.
CIIITTT DRAAAK! Baru 10 meter aku melaju pergi, bunyi keras itu terdengar. Dari kaca mobil yang kukendarai, aku dapat melihat akibat dari suara keras tersebut. Kecelakaan rupanya. Penasaran, aku langsung turun dari mobil dan menuju tempat terjadinya kecelakaan tersebut. Samar, aku melihat korban dari kecelakaan tersebut. Wajahnya sangat familiar bagiku, LIA! Lia terserempet oleh sepeda motor yang sedang melaju pula dijalan ini.Bukannya segera menolong,  orang – orang disekitarku malah ribut sendiri!
“Permisi Pak, Bu. Ini teman saya. Lebih baik sekarang dia digotong kedalam mobil saya, biar saya yang mengantarkannya ke klinik terdekat agar tidak tambah parah lukanya,” aku menengahi keributan orang – orang disekitarku.
Tiba – tiba seorang bapak paruh baya mendekatiku dan berkata, “Apa buktinya kalau kamu temannya? Bisa saja kamu orang jahat yang mengaku – ngaku jadi temannya.”
Orang – orang disekitarku ribut lagi! Mereka membenarkan omongan bapak tersebut. Bapak tadi tersenyum, padahal dirinya sendiri tidak mengenal Lia. “Pak,” panggilku pada bapak tadi. “Bapak tidak lihat baju saya? Buat apa saya menculik – culik anak ini. Memangnya mau dijual apa? Dan satu lagi, saya memang mengenal anak ini. Dia Lia, Julia lebih tepatnya. Dia teman saya. Dia tinggal dibelakang Perumahan Cendana Asri.”
Bapak itu  mendekati Lia meminta responnya. Lia hanya mengangguk lemah. “Sudah cepat bawa Lia ke mobil saya!” perintahku kasar pada orang – orang sekitarku dan herannya mereka tidak protes diperintah kasar olehku. Mereka malah langsung menjalankan perintahku tadi.
Setelah Lia masuk ke mobilku, aku langsung melaju cepat ke klinik terdekat. Sesampainya disana, Lia langsung ditangani oleh petugas kesehatan disana. Setelah menyelesaikan semua biaya administrasi serta tetek bengek sejenisnya, aku langsung menemui Lia disalah satu kamar di klinik tersebut. Dikamar nomor 05, lutut Lia sedang dijahit. Sebelunya, disikunya juga mendapatkan 3 jahitan akibat dari kecelakaan tersebut. Tak lama lututnya pun sudah selesai dijahit.
“Hai Lia. Lama gak ketemu,” ucapku basa basi.
Lia yang sedang asik merintih kesakitan sedikit terkejut. Mata mungilnya menatapku seakan mengingat siapa aku dan dimana kita pernah bertemu. “Aku Aya. Lupa kau dengan teman satu pantimu dulu?” jelasku menjawab kebingungan Lia.
“Ya ampun Kak Aya!” seru Lia. “Nyaris aku tidak mengenali Kakak. Sekarang Kakak tambah cantik saja.”
Pipiku memerah. Bukan karena pujian dari Lia, melainkan sikapnya mengingat apa yang telah aku lakukan dulu. “Kamu ternyata masih seperti yang dulu, Lia,” tuturku lembut. Banyak orang yang menganggap aku kasar dan tidak bisa berkata lembut. Yah, setelah berpisah dengan Lia aku menjadi anak yang sangat kasar, kecuali jika bersama Mama Galuh tentunya.
“Kakak juga,” kata Lia. “Malah tambah keren.” Wajah Lia tertuju pada seragam yang aku pakai. Tidak bisa dipungkiri, dari raut mukanya menunjukkan bahwa dia iri. Tersirat rasa kasihan dihatiku. Sejak dulu, ingin rasanya aku mengajak Lia jalan – jalan, merasakan kenikmatan yang pernah aku rasakan sejak tinggal bersama Mama Galuh.
“Lia, maaf dulu aku meninggalkan kamu,” tuturku. Jujur, sampai saat ini aku masih menyesal.
“Gak apa – apa kok, Kak,” Lia tersenyum manis. “Lia mengerti. Selagi itu baik buat Kakak, Lia ikhlas. Lia sudah maafin Kakak sejak dulu, sejak kita berpisah.”
Pipiku memerah lagi. Malu. Aku rasa sekaranglah saatnya membalas budi Lia. Selagi ada kesempatan. Toh, Mama Galuh tidak akan tahu soal ini, dia sekarang sedang di Bandung. “Kamu masih bisa berjalan, kan?” aku mengalihkan pembicaraan kami. Lia sedikit terkejut lalu mengangguk menanggapinya. “Bagus,” ujarku lagi. “Yuk pergi.”
Lia mengerutkan dahinya. “Mau kemana kak?”
“Kemana saja tempat yang ingin kamu kunjungi,” jawabku cuek. “Ayo!” aku menarik tangan Lia.
Toko buku. Tempat yang ingin Lia kunjungi. Heran, kenapa Lia lebih memilih toko buku ketimbang Mall, restoran, atau apalah yang pasti jauh lebih seru dan menyenangkan ketimbang toko buku tentunya. Tapi karena aku sudah janji, mau tak mau aku harus mengantarkannya ke toko buku.
Di toko buku. Huuufft! Ternyata jauh lebih membosankan dari apa yang aku bayangkan. Bagaimana tidak coba?? Lia jauh lebih memilih deretan buku yang berisi tentang hal – hal serius seperti: ensiklopedia, buku tentang dasar hukum, dll ketimbang memilih deretan komik! Yang membuatku tambah bosan: Lia memilih buku lamaaaa sekali!
2 jam lebih setelah aku menyelesaikan 3 komik sekaligus, Lia baru selesai memilih buku. Disondorkannya buku yang dipilihnya padaku. Sekilas aku membaca judul buku yang terpampang: Sumber Dasar Hukum di Indonesia Dalam Kehidupan Masyarakat.
“Lia, kamu suka banget sama hukum ya?” Jujur, pada saat itu alisku naik 1 cm, heran. Ya ampuuun aku bisa – bisa langsung tidur ditempat jika membaca buku super serius itu!
Lia hanya meringis dan berkata, “Engak juga sih, kak. Cuma Lia sebagai warga Negara setidaknya tahu sedikit – sedikit tentang Negara tercinta kita ini, ya kan?”
“Iya sih, Cuma kamu seperti serius banget mempelajari hukum,” aku tersenyum masam.
“Hihihihi kakak lupa ya?” Lia meringis membuat sebuah tanda tanya besar dikepalaku, bingung dengan apa yang dipikirkannya. “Aku, kan tidak sekolah. SD saja tidak pernah.”
Oh itu. Ya, aku hampir lupa soal itu. “Lalu kamu belajar membaca menulis dari siapa?”
“Kakak Zahmi yang mengajari. Dia mengajari kami membaca dan menulis, baik Indonesia maupun Inggris,” jelas Lia.
Kami? Maksudnya apa itu? “Kami?” tanyaku memancing penjelasan dari Lia.
“Iya kami,” Lia mengangguk antusias. “Kami anak – anak jalanan.”
“Oh,” tanggapku. “Ya sudah, sekarang kita mau kemana lagi?”
“Aku mau pulang,” tutur Lia. “Aku harus mengajari teman – temanku.”
“Mengajari?” tanyaku tidak mengerti.
“Iya, mengajari teman – temanku membaca dan menulis.”
Oh. Aku kira mengajari apa. “Jadi sekarang ceritanya kamu sedang melanjutkan perjuangannya Kak Zahmi?” aku tersenyum remeh pada Lia. Yaelah, mengajari anak – anak jalanan! Membaca dan menulis pula! Hahaha seperti anak kelas 1 SD!
“Setidaknya, selama 14 tahun aku hidup, aku sempat memiliki arti dan berarti,” kepala Lia menunduk, entah merendah atau minder.
“Oooh,” komentarku dengan nada meremeh. “Ya sudah, selamat berjuang.” Aku memang paling malas kalau berbicara soal belajar ataupun kawan – kawannya.
“Kakak gak mau ikutan mengajari mereka, Kak?” pertanyaan Lia terlontar tanpa disaring terlebih dahulu. “Kakak kan., pernah sekolah dasar. Setidaknya Kakak jauh lebih tahu daripada aku.”
HAH?! Apa?! Mengajari mereka?? Iih, gak banget deh! “Gak, males,” jawabku cuek.
“Setidaknya ilmu Kakak jadi bermanfaat,” kata Lia. “Daripada kebuang sia – sia? Setidaknya, semuanya jadi ada artinya, Kak.”
“Memangnya kamu pikir dengan mengajari mereka, mereka bisa jadi pengawai kantoran??” ujarku meremeh. “Paling banter juga TKI!”
“Tidak juga, Kak,” bela Lia. “Siapa tahu kelak, salah satu diantara kami ada yang menjadi penulis. Atau mungkin musisi.”
“Hahahahaha!” meledaklah tawaku. Bagaimana tidak? Sekarang, Sarjana saja cari kerjaan susahnya minta ampun. Apalagi mereka yang hanya mempunyai tiltle: anak jalanan!
“Lia, Lia,” aku menggeleng – gelengkan kepala. “Sekali anak jalanan, kalian tetap anak jalanan! Sekali gembel, kalian tetap gembel juga!”
“Dunia itu memang tidak adil, Kak,” Lia berujar lirih. “Ada anak yang sangat ingin merasakan sekolah, namun tidak bisa. Namun, ada juga anak yang beruntung dapat bersekolah, namun mereka menyia – nyiakan dan beranggapan sekolah seperti neraka, mereka tidak serius dan tidak berminat.”
Meskipun aku tidak mengerti sepenuhnya apa yang diucapkan Lia, namun aku tetap merasa tersinggung. “Jadi kamu pikir kalian anak – anak jalanan jauh lebih baik daripada kami apa, hah??! Asal kamu tahu, ya, kalian itu Cuma sampah dunia!! Kalau kalian mati, dunia tidak akan sedih atau kehilangan, malahan gembira!”
Lia tersenyum misterius. Ih, aku benci senyumnya itu! Memangnya dia pikir dia siapa? Cuma anak jalanan, kok, sok – sok-an mengurui! Emang dia pikir dia pintar apa??
“Jika kami memang sampah dunia,” Lia menatapku lekat – lekat. “Setidaknya kami adalah sampah organik. Kami bisa berarti tanpa harus seperti kalian. Dan, kalian juga sampah! Sampah anorganik! Kalian tidak berarti, karna kalian tidak mencari ilmu tapi nilai dan gengsi. Kalian tidak jauh bedanya dengan manusia zaman batu dan manusia barbar. Tuhan seperti tidak adil, tapi kami tidak menyesalinya karna kami masih diberi hati dan pikiran yang jauh lebih baik daripada kalian. Dan Tuhan sangat adil!”
Wajahku merah menahan amarah. Tanganku mengepal – ngepal ingin segera menampar Lia. Namun, aku hanya pergi meninggalkan Lia disini. Bodo amat, deh dia pulang pakai apa!
***
Berhari – hari aku memikirkan apa yang diucapkan Lia tempo hari yang lalu. Aku akui, ada benarnya juga perkataan Lia. Ya, hidupku selalu saja tidak merasa puas. Aku memang tidak berarti. Akulah sampah dunia yang sebenarnya.
2 tahun yang lalu. Aku lulus dari salah satu SMP favorit di kota ini dengan nilai bagus. Namun, aku tetap saja merasa tidak puas. Aku merasa hambar. Pujian, sanjungan yang aku terima hanya aku pandang sebelah mata. Ya, aku akui, aku lulus bukan dengan kerja kerasku sepenuhnya melainkan hasil dari menyontek maupun mendapat bocoran dari seseorang. Rokok. Hanya itu yang dapat menghilangkan semua beban pikiranku, sesaat. Moral pun kini lenyap. Kenapa Tuhan masih mengizinkan aku yang jijik ini untuk hidup? Tidakkah aku sama halnya dengan keledai yang bodoh dan tidak tahu diri?
Mobil Honda jazz-ku berhenti dipinggir jalan. Aku membuka bagasi mobilku dan mengeluarkan sekardus besar buku – buku yang hendak aku sumbangkan pada Lia dan kawan – kawan. Kejadian tempo hari bersama Lia telah membuat mata-ku terbuka. Kaki-ku melangkah hati – hati melewati jalan yang licin serta menurun. Tidak jauh dari tempat aku berjalan, suara – suara anak – anak yang sedang semangat belajar terdengar. Aku sampai dapat merasakan besarnya semangat belajar yang sebenarnya.
“Kak,” seorang anak mengacungkan jarinya untuk bertanya pada Lia. “Apa sebenarnya makna bulu dari burung Garuda? Memangnya penting, ya?”
Lia tersenyum. “Tentu penting. Sebab, pada bulu sayapnya menandakan tanggal berapa kita merdeka. Sedangkan bulu pada ekornya menandakan bulan berapa kita merdeka.”
“Memangnya penting, kak?” tanya salah seorang lagi.
“Tentu!” jawab Lia pasti. “Coba kalian bayangkan, jika tidak ada tanggal, bulan, serta tahun itu, apa kita sekarang sudah merdeka?”
Anak – anak lalu ribut mendiskusikan perkataan Lia. Sungguh hal yang mengharukan bagi siapa saja yang melihatnya. Sayang, semuanya kini  sibuk dengan urusannya sendiri.  Seakan mereka melupakan amanat luhur yang dituliskan dalam  UUD 1945 yang berisi: ‘Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara’. Salah tugas utama Negara yaitu memelihara fakir miskin dan anak telantar, telah terabaikan. Untung saja, anak – anak telantar dan fakir miskin itu tidak banyak menuntut meskipun mereka sebenarnya sangat menderita dan belum merdeka. Beruntung, masih ada orang yang peduli sesama seperti Lia dan Kak Zahmi. Ya, mereka adalah pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.
Takut mengganggu mereka, aku meninggalkan kardus ini serta amplop berisi sejumlah uang dipinggir ‘ruang kelas darurat’ mereka. Tak lupa diatasnya aku tuliskan: Untuk pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, Lia, mutiara hitamku. Serta semua anak – anak permata bangsa. Kalian adalah Pusaka Terbesar bangsa yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
***
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar